Minggu, 28 Maret 2010

Tugas Bahasa Indonesia 2 (Mengkritisi Gambar Karikatur)





















Menurut saya, karikatur diatas menggambarkan tentang ilmu yang diberikan tidak selamanya benar, ada yang memacu kesuksesan seseorang, ada juga ilmu yang menghambat suatu keberhasilan. Kita sebagai manusia, yaitu makhluk yang memiliki akal, harus pintar dalam menelaah dan memilih apakah ilmu yang kita terima itu benar dan baik untuk kita serap dan kita ikuti, sebab akan berpengaruh besar terhadap kemajuan kita di masa depan. Apabila kita salah menilai suatu ilmu maka nantinya akan menghambat kita dalam meraih sebuah impian terbaik di masa yang akan datang.





















Minggu, 14 Maret 2010

Dua Orang Sahabat

Seperti sudah dijanjikan, dua orang lelaki bertemu di jempatan beton dekat simpang tiga depan kantor pos.
Yang satu kekar dan yang lain kurus. Keduanya sama mendekatkan arloji ke mata, seolah hendak tahu
apa mereka tiba tepat waktu. Ketika itu malam belum lama tiba. Hujan yang turun sedari sore, tinggal renyai.
Malam menjadi kian gelap dan lebih dingin hawanya. Salah seorang mengenakan mantel hujan.
Yang lain bermantel plastik transparan. Kerah mantel- nya sama ditinggikan sampai menutup telinga.
Kepala si ke- kar ditutupi oleh baret abu-abu. Si kurus oleh topi mantel.
Sedangkan tangannya sama membenam jauh ke dalam saku celana.
Mereka berjalan ke arah timur dengan setengah membungkuk, mengelakkan dingin dan tiupan angin malam.
Tak seorangpun yang berbicara.

Nyala lampu jalan yang bergoyang-goyang ditiup angin itu, redup cahayanya.
Dibendung oleh kabut yang biasa turun di kota pegunungan itu.
Jalan itu lengang seperti kota ditinggalkan penduduk karena ada ancaman bencana.
Hanya bayangan kedua orang yang terangguk-angguk itu saja yang kelihatan.
Ketika mereka sampai di suatu simpang, si kekar bertanya tanpa menoleh: "Kemana kita?"

"Terserah kau." jawab si kurus gersang.

Lalu yang kekar membelok ke kiri. Seperti itik jalan sekandang, si kurus juga membelok.
Sekarang jalan yang mereka tempuh mendaki. Tapi mereka tidak melambatkan langkah.
Sehingga mereka seperti tambah terbungkuk-bungkuk dan kepalanya sama terangguk pada setiap kaki dilangkahkan.
Jalan itu lebih gelap oleh kerimbunan pohon-pohon di kiri- kanannya.
Dan kaki mereka sering terperosok ke lobang di jalan aspal yang telah lama tidak diperbaiki.
Keduanya dengan pikiran masing-masing. Hanya derapan sepatu yang solnya sudah lembab
yang meningkahi nyanyian hewan malam.

"Gila. Dia berani. Sekali aku pukul, pasti klenger." kata si kekar dalam hatinya.

"Orang bertubuh besar, kekar, bangga dengan otot. Tapi tidak punya otak. Dan kalau kaya, sombong.
Tidak punya perasaan." kata si kurus dalam hatinya juga.


"Mengapa dia berani? Apa dia punya ilmu? Ilmu apa? Ah, ilmu. Kalau orang Indonesia punya ilmu,
tidak akan bisa Belanda lama-lama menjajah negeri ini. Tapi dia ini punya ilmu apa?" kata si kekar lagi pada dirinya.

"Homo homini lupus, kata Hobbes. Itu benar. Tapi tidak selamanya." kata si kurus.
"Karena orang kecil punya otak. Harus cerdik. Sejarah mengatakannya begitu." kata si kurus masih dalam hati.

"Aku pecah kepalanya sampai otaknya berderai. Biar bangkainya tahu, jangan coba-coba melawan aku." kata si kekar pula.

Kini mereka melalui jalan yang mendatar sesudah membelok ke kanan lagi.
Langkah mereka seperti tertegun ketika mulai melalui jalan yang datar itu.
Napasnya sama menghem- bus panjang, bagai mau melepaskan hengahan payah.
Lalu mereka melintasi jalan lebar yang bersimpang. Tiba-tiba sebuah jip militer datang dari arah kanan.
Si kekar buru- buru menepi. Tapi si kurus tidak peduli. Dia tidak meng- hindar.
"Kamu mau mati, hah?" bentak pengendera jip itu dengan iringan sumpah serapah.

Si kurus berdiri sambil menatap ke arah jip yang lewat tidak lebih setengah meter darinya.
Katanya dalam hati: "Sama saja watak kalian. Tidak beretika. Tidak bermoral."

Rumah-rumah di kedua pinggir jalan itu sudah jarang le- taknya.
Listrik belum sampai ke sana. Hanya cahaya lampu minyak mengintip dari celah dinding anyaman bambu.
Rumah- rumah itu sunyi dan hitam. Sesunyi dan sehitam alam hingga ke puncak bukit.
Sedangkan bukit itu terpampang bagai mau merahapi alam kecil di bawahnya.
Tepat diatas perbatasan alam yang pekat itu, sesekali cahaya terang mengilat.
Bukit itu bagai binatang merayap maha besar dalam kisah prasejarah. Mengerikan nampaknya.

Tiba-tiba pintu rumah di pinggir kiri jalan terbuka.

Cahaya lampu minyak melompat keluar. Masuk ke gelap malam. Kepala seorang perempuan menjulur.
Dia memandang lama ke- pada kedua laki-laki itu. Laki-laki itu juga memandangnya.

Ketika lelaki itu berjalan terus, kepala perempuan itu lenyap lagi ke balik pintu sambil menggerutu. "Sialan.

Bukan mereka."

Dan perempuan lain di dalam rumah cekikikan ketawa. Lalu hilang karena pintu ditutup lagi.
Cahaya lampu yang menjilat malam itu pun lenyap bersamanya. Renyai tidak turun lagi.

"Kurang ajar. Berani bilang aku sialan. Kalau aku mau perempuan bukan ke seni aku, tahu?"
kata si kekar masih dalam hatinya.

"Perempuan pemilik daging sewaan ini, sama saja dengan pemilik otot.
Sama tidak punya etika, tidak punya moral." gerutu si kurus.

Kemudian mereka tiba lagi di sebuah simpang. Jalan be- sar yang mereka tempuh membelok ke kiri.
Tapi mereka me- neruskan arahnya, melalui jalan kecil tanpa aspal. Kerikil besar-kecil berserakan menutupnya.
Gemercakan bunyinya di- pijaki. Dekat di kiri kanan jalan meliuk-liuk daun pisang ditiup angin.
Berkepakan bunyinya menyela desauan angin yang meniup dan nyanyian jengkrik.
Bukit menghempang di hadapan mereka hilang timbul disela daun pisang itu.
La- ngit yang memberikan kilatan, juga mengintip dicelahnya. "Tak kusangka aku ke sini di malam seperti ini.
" si kekar berkata dalam hatinya lagi. "Mengapa aku mesti ke sini? Seumur-umurku belum pernah aku ke sini.
Jangkankan malam. Siang pun belum. Gila benar."

"Orang kuat, orang kaya, itu maunya takdir. Jika enggan menghormati kaum jelata, hormatilah takdir.
Kalau mereka tidak mau, lawan takdir itu. Takut melawan, terinjak terus. Kalau melawan, gunakan otak.
Akali. Kalah menang juga takdir." kata si kurus masih dalam hatinya.

Tiba-tiba keduanya sama terkejut. Langkah mereka sama terhenti,
sambil dengan hati-hati mengawasi sesuatu yang melintas cepat di depan mereka. Rupanya seekor musang.

Berdesauan suara perlandaan badannya dengan dedaunan di semak itu.

"Huss, musang. Bikin kaget orang. Nantilah, aku bawa bedil ke sini. Boleh kamu tahu rasa." kata si kekar.

"Bagi kamu musang, selalu ada sekandang ayam untuk kamu terkam.
Apalah daya ayam karena sudah takdirnya begitu. Kata Hobbes hanya cocok untuk binatang.
Manusia yang bina- tang, ya, sama. Tapi aku manusia. Manusia yang manusia.
Kalau kuat, ya, jangan menindas. Kalau tidak mau melawan, jadi ayamlah kamu." kata si kurus lagi.

Keduanya terus melangkah juga. Tapi lebih lambat. Si kekar seperti mencari-cari sesuatu.
"Orang kurus seperti kamu, sekali tetak, lehermu patah.
Berhari-hari kemudian orang akan mencari bau bangkai membusuk ke sini.
Bangkai itu, bangkai kamu. Karena itu jangan sekali-kali menentang

orang kuat." kata si kekar lagi. Masih dalam hati.
Dia lebih memperlambat langkahnya seperti dia merasa sudah sampai ke tempat yang ditujunya.
Dan memang tak lama kemudian mereka sampai ke suatu padang luas yang membujur di sepanjang kaki bukit di kejauhan itu.
Tiada pohon tumbuh disitu. Selain belukar menyemak. Dulunya padang itu tempat serdadu Belanda,
sorja Jepang dan tentara revolusi latihan menembak.
Di sana Jepang juga memenggal nyawa orang yang dituduh pengkhianat.
Tentera revolusi pun meniru gurunya yang sorja Jepang.
Sehingga padang itu menumbuhkan fantasi yang menegakkan bulu roma setiap orang.


Orang-orang tawanan yang akan dibawa ke situ, sudah ke- jang duluan oleh ketakutan atau
cepat-cepat berdoa dengan seribu cara. Dan kini padang luas yang sunyi dan menimbulkan
fantasi seram itu, di malam berenyai, dingin dan pekam, didatangi oleh dua lelaki.
Dan padang itu, seperti biasa menanti dan menyaksikan orang-orang yang dipenggal lehernya atau
ditembak mati tanpa peduli perasaan si kor- ban. Padang itupun sunyi menerima kedatangan kedua laki- laki itu.
Bersikap masa bodoh terhadap segala apa yang di- lakukan oleh manusia terhadap sesamanya. Seolah-olah berkata:
"Hai manusia, silakan kalian saling bunuh." Tapi arwah manusia yang dibunuh tanpa kerelaan, sehingga menumbuhkan
fantasi yang menghantu, seperti tidak menyentuh hati kedua lelaki yang mendatanginya di malam itu.

"Dia mau menjagal aku, seperti yang dilakukan serdadu-serdadu itu." kata si kurus dalam hatinya.

"Kalau dia sampai mati aku gampar, orang akan menanyai aku. Polisi akan menangkap aku. Matilah aku.
Sialnya ini orang mau ke sini." kata si kekar menggerutu pada dirinya. "Kalau aku dipenjarakan, akan apa
perasaan isteriku. Kalau aku dikuhum mati? Bajingan-bajingan akan memburu istriku yang muda,
cantik dan kaya oleh warisanku. Sialan".

Cahaya kilat memancar juga jauh tinggi dilangit, tanpa tenaga menembusi gelap dan kesepian
padang itu. Dan sese- kali angin meniup agak keras, hingga daunan kayu bergoyangan menjatuhkan
pautan tetesan air padanya. Gegap berde- sauan bunyinya, bagai teriakan prajurit yang kemasukan
semangat mau mati yang bernyala dan haus darah.

Si kekar mendongakkan kepalanya seraya memandang sekeliling alam di padang itu.
Lalu katanya seraya menghenti- kan langkahnya, "Di sini saja."

Si kurus pun menghentikan langkahnya. Masih menekur juga dia. Keduanya kini tegak berhadapan,
seperti dua orang yang mau mengatakan sesuatu yang lama sudah disimpan.

"Mestinya dia ini tidak perlu aku bawa ke sini. Aku cari saja preman. Suruh ajar dia ini. Habis perkara." kata si kekar.
"Sialnya aku lancang mulut mengajaknya berduel malam ini."

Cahaya kilat memancar lagi. Jauh di balik bukit sebe- rang ngarai yang lebar itu. Redup, seperti tak bertenaga.
Lalu kata si kekar dengan suara redup seperti kilat itu:

"Tak pernah selama ini aku mengangankan datang kemari ber- samamu. Apalagi malam begini.
Nyatanya kita kemari juga.

Kau tahu mengapa?"

Si kurus mengangkat kepalanya, seraya memandang ke arah kepala si kekar. Lalu katanya dengan suara yang gersang.

"Maumu 'kan?" Tapi dalam hatinya dia berkata: "Kau tahu kau kekar dan kuat. Kau jadi berani membawa aku ke sini.
Tapi aku punya harga diri. Sekali aku kecut, seumur hidup aku kau dilecehkan."

Keduanya terdiam ketika angin bertiup rada kencang.
Bersoraklah lagi dedaunan menggugurkan tetesan sisa air yang bergantungan padanya.

"Kita telah bersahabat sejak SMP. Berapa lama itu? Kau ingat? Lebih dua puluh tahun.
" si kekar memulai bicara sebagai awal pembicaraan yang panjang dengan mengingatkan segala apa yang
telah diberikannya kepada si kurus selama mereka bersahabat kental.
Nadanya membanggakan kelebihan- nya dan melecehkan si kurus dengan kalimat sindiran.

"Sekali hari kau kenalkan Nita padaku. Katamu, temanmu. Aku naksir dia. Aku lamar dia pada orang tuanya.
Lalu kami kawin. Sejak itu kau berobah. Mana aku tahu Nita pacarmu." kata si kekar.

"Kalau kapal suka berobah arah ke mana angin kencang bertiup, lebih baik tidak menompangnya.
Tapi ini bukan soal Nita. Ini soal harga diri yang selalu kau lecehkan" kata si kurus. Masih dalam hatinya.

"Kau kira aku cemburu kalau Nita kemudian dekat padamu? Tidak. Aku tidak cemburu. Karena aku tahu siapa aku,
siapa Nita, siapa kau." kata si kekar. Kemudian dengan nada yang tegar dia melanjutkan:
"Kalau kau mau ambil dia, ambil. Tinggalkan kota ini. Aku tidak suka dilecehkan." Dia mencoba meneliti wajah si kurus.
Namun gelap malam menghalangi penglihatannya. Cahaya kilat tak membantu ka- rena terlalu jauh di langit sebelah barat.
Angin masih se- bentar-sebentar menggoyangi dedaunan di ujung ranting.

"Kau tidak peduli kapalmu rindu pada teluk yang dalam, ombak yang tenang. Itulah macam manusianya kamu.
Seperti raja-raja dahulu kala. Semua yang berada di bawah kuasamu, kamu pikir dapat diperjual-belikan.
Siapa mau dan tahan diperlakukan begitu terus-menerus?" kata si kurus dalam hatinya juga.

"Sekarang, kita berada disini, di padang yang luas ini, di malam sehabis hujan turun,
dimana kilat masih sabung- bersabungan. Namun dalam hati kecilku aku menyesali kehadiran kita disini.
Aku merasa konyol. Tapi.....kalau tidak dengan cara begini menyelesaikan persoalan kita, hi- langlah harga diriku.
" kata si kekar dengan gaya orang partai yang mencoba menumbuhkan kesan kagum yang diharap- kannya.
Tapi si kurus masih tidak menanggapi. Dia masih bersikap seperti tadi, berdiri tanpa peduli.

"Betul-betul sudah pekat hatimu menantang aku secara jantan?" kata si kekar.

Si kurus tak menyahut. Tapi kepalanya tak menekur lagi. Tegaknya seperti menantang.

"Sekali lagi aku tanya, Apa hatimu sudah pekat?"

"Kau kira apa?" kata si kurus seraya menyurutkan sebelah kakinya selangkah.

Si kekar membuka mantel hujannya tenang-tenang. Disam- kutkannya pada ranting belukar beberapa langkah dari
tem- patnya. Sambil melangkah digulungnya lengan panjang keme- janya. Selesai yang kiri, lalu yang kanan. Juga dengan tenang. Tapi ketika dilihatnya si kurus masih terpaku pada tempatnya berdiri, dia berkata lagi, "Mengapa tak kau buka mantelmu? Kau menyesal?"

"Apa pedulimu?"

"Baik." kata si kekar sambil menyelesaikan menggulung lengan kemejanya.
Kemudian dia kepalkan tinjunya sambil menyurutkan langkah selangkah. Siap untuk berkelahi.
Tiba- tiba dia lihat sesuatu yang berkilat di tangan si kurus. "Apa itu?" tanyanya.

"Pisau," jawab si kurus tegas.

"Oh. Kau berpisau? Itu curang namanya." kata si kekar seraya menyurutkan kakinya selangkah lagi.

Tak ada jawab si kurus.

"Kalau kau main curang, buat apa kejantanan? Aku tidak mau berduel dengan orang curang." kata si kekar.

"Kencing kau." carut si kurus untuk menghina.

Si kekar kehilangan nyali. "Kalau aku tahu kau bawa pisau ......."

Dan angin bertiup lagi. Dedaunan berdesauan pula.
Kini seperti bersorak girang atas kemenangan orang kecil atas keangkuhan orang besar.


Lama kemudian si kekar berkata lagi, tapi dengan suara yang kendor.
"Aku orang terdidik. Terpandang pada mata ma- syarakat.
Aku tidak mau mati terbunuh oleh sahabat karib- ku sendiri. Tak aku sangka, kau mau membunuhku."

"Mestinya aku ludahi wajahmu. Tapi apa gunanya menghina orang yang kalah?" kata si kurus dalam hati.
Seketika ada pikiran yang mengganggunya, bagaimana kalau si kekar jadi pemenang.
"Pasti seperti pemenang pada perang saudara."

"Maksudku, hanya ingin menyelesaikan persoalan antara kita. Bukan untuk berbunuh-bunuhan.
Karena kita berhabat karib." kata si kekar dengan suara lirih.

Si kurus membalikkan badannya. Lalu melangkah ke arah mereka datang tadi.
Tidak tergesa-gesa. Juga tidak pelan.

"Tunggu. Tunggu aku." seru si kekar. Karena si kurus terus menjauh, dia mengikuti dengan langkah panjang-panjang.
"Jangan kau salah mengerti. Sebenarnya aku tidak hendak berkelahi. Apalagi dengan kau." katanya setelah dekat.

Si kurus tidak menjawab. Dia terus berjalan tanpa mem- lambatkan langkah.
Si kekar terus juga bicara tentang pe- nyesalannya mengajak si kurus ke tempat yang sepi itu.
Kemudian katanya: "Aku minta maaf sebesar-besar maafmu.

Kau mau, bukan?" Karena si kurus terus tidak berkata, di pegangnya tangan si kurus.
Tapi si kurus merenggutkan tangannnya dari pegangan itu. Terperengah berdiri si kekar beberapa saat.

Angin malam terasa bertiup lagi. Dedaunan pohon ping- gir jalan itu mendesau seketika.
Si kekar melangkah cepat, lebih cepat dari langkah si kurus. Setelah beberapa langkah mendahului,
dia berdiri dan menanti si kurus mendekat.

Didekapnya kedua telapak tangannya di bawah dagunya se- perti patung Budha. Lalu katanya memelas:
"Aku minta sung- guh, jangan kau ceritakan peristiwa ini kepada siapapun. Hancur harga diriku.
Akan apa kata Nita, kalau dia tahu?

Hancur aku. Hancur."

Si kurus terus melangkah. Si kekar terus menghadang dengan langkah mundur. Tanpa merobah letak kedua tangan,
si kekar berkata lagi: "Apapun yang kau minta akan aku beri, asal kau tidak ceritakan kepada siapapun.
Habis aku. Hancur harga diriku. Katakan apa yang kau mau. Kalau kau mau Nita, ambillah. Aku ikhlas."

Tiba-tiba dia berhenti. Dia ingat mantelnya tergantung pada ranting belukar.
Tergesa-gesa dia kembali untuk mengambilnya. Tergesa-gesa pula dia mengenakan mantel serta mengancingkannya.
Sedangkan matanya terus juga memandang si kurus yang kian menjauh dan kian hilang dalam gelap ma- lam.
Dia berlari mengejar sambil memangil-manggil nama si kurus dan minta si kurus menunggu.
Ketika sampai di tempat mereka berpisah tadi, si kekar berhenti.
Dia memandang berkeliling mencari dimana si kurus berada. Tidak siapapun terlihat,
selain gelap malam. Bulu romanya merinding. Sambil berlari kencang, dia memanggil nama si kurus keras-keras.
"Dali, tunggu. Dali, tunggu. Jangan tinggalkan aku. Daliiii."

Si kurus keluar dari persembunyiannya di belukar, setelah suara si kekar tidak terdengar lagi.
Dia bersembunyi karena enggan berjalan seiring dengan sahabat lama yang sudah jadi bekas sahabat.


Angin Dari Gunung


Sejauh mataku memandang, sejauh aku memikir, tak sebuah jua pun mengada. Semuanya mengabur, seperti semua
tak pernah ada. Tapi angin dari gunung itu berembus juga. Dan seperti angin itu juga semuanya lewat tiada berkesan.
Dan aku merasa diriku tiada.

Dan dia berkata lagi. Lebih lemah kini, "Kau punya istri sekarang, anak juga. Kau berbahagia tentu."

"Aku sendiri sedang bertanya."

"Tentu. Karena tiap orang tak tahu kebahagiaannya. Orang cuma tahu kesukarannya saja."

Dan dia diam lagi. Kami diam. Angin dari gunung datang lagi menerpa mukaku. Dan kemudian dia berkata lagi.
"Sudah lima tahun, ya? Ya. Lima tahun kawin dan punya anak."
Aku masih tinggal dalam diamku. Aku kira dia bicara lagi.

"Kau cinta pada istrimu tentu."

"Anakku sudah dua."

"Ya. Sudah dua. Kau tentu sayang pada mereka. Mereka juga tentunya. Dan kau tentu bahagia."

Dia berhenti lagi. Lalang yang ditiup angin bergelombang menuju kami. Lalu angin menerpa mukaku lagi.
Dan aku merasa. ketiadaanku pula. Angin pergi.

"Kau ingat, Har?"

"Apa?" kutanya dia dengan gaya suaranya.

"Sembilan tahun yang lalu."

"Ya. Aku masih ingat. Tapi itu sudah lama lampaunya."

"Ya. Sudah lama. Aku tak pernah mau mengingatnya. Tapi kini aku ingat lagi." Dia diam lagi.
Dan memandang jauh ke arah gunung itu. "Ketika itu seperti macam sekarang. Kita duduk seperti ini juga.
Tapi tempatnya bukan di sini. Aku masih ingat, sekali kau menggenggam jariku erat sekali.
Aku biarkan dia tergenggam. Dan dalam tekanan genggamanmu, aku tahu kau mau bicara.
Dan aku menunggunya. Tapi kau tak berkata apa-apa."

"Masa itu, masa kanak-kanak kita," kataku. Tapi cepat kemudian aku jadi menyesal telah mengatakannya.

"Ya," katanya dengan suara tak acuh. "Jari-jariku itu sudah tak ada lagi kini. Kedua tanganku ini, kaulihat?
Buntung karena perang. Dan aku tak lagi dapat merasa bahagia seperti dulu. Biar kau menggenggamnya kembali.
Mulanya aku suka menangis. Menangisi segala yang sudah hilang. Tapi kini aku tak menangis lagi.
Tak ada gunanya menangisi masa lampau. Buat apa?"

Aku jadi sentimental dan hatiku berteriak, meneriakkan seribu kenangan yang datang mengharu biru.
Kucoba membuang segala kesenduan, tapi aku menjadi tambah tenggelam olehnya.
Dan angin meniup lebih syahdu terasa. Serasa ada nyanyian iba besertanya.

"Tak ada gunanya," katanya lama kemudian. Dan aku menunggu dia bicara lagi.
Tapi itu saja yang dikatakannya. Tak diteruskannya. Kedua tangannya yang buntung itu diacungkannya ke depan,
disilangkan, lalu digesek-gesekannya. Melihat itu, aku mau tersedu. Tersedu seperti ketika pusara Ibu mau ditimbuni.

"Kau punya anak, punya istri. Dari itu kau punya pegangan hidup, punya tujuan minimal.
Tapi yang terpenting kau punya tangan. Hingga kau dapat mencapai apa saja yang kaumaui.
Sebagai suami, sebagai ayah, sebagai laki-laki, sebagai manusia juga, seperti yang kita omongkan dulu,
kau dapat mencapai sesuatu yang kauinginkan. Alangkah indahnya hidup ini, kalau kita mampu berbuat apa yang kita inginkan.
Tapi kini aku tentu saja tak dapat berbuat apa yang kuinginkan. Masa mudaku habis sudah ditelan kebuntungan ini."

Dan tangan itu diturunkannya lagi. Dia memandang lebih jauh melampaui balik gunung dari mana angin meniup.
Kala itu aku ingin mengatakan sesuatu kepadanya.
Sebuah ucapan yang indah dan memberi semangat seperti dulu sering kuucapkan untuk anak buahku di front Barat.
Tapi bagaimana aku dapat mengatakan, kalau semangat itu sendiri telah kulemparkan jauh-jauh pada suatu ketika.

"Dulu aku cantik juga, bukan?" katanya pula. "Bahkan tercantik di front Barat itu. Aku tahu semua orang mau menarik perhatianku.
Semuanya mau mati-matian dan bekerja berat di depanku. Semuanya mau berjuang membunuh musuh demi mendekatiku.
Tapi keitika musuh datang, aku kebetulan tak ada disana, mereka habis lari kehilangan keberanian.

Kalau pemimpin yang datang di front, di waktu tak ada perempuan, aku menjadi sibuk.
Aku diminta mengatur tempat tidur mereka. Dan ketika mereka mau pergi, dicarinya aku dulu.
Dijabatnya tanganku erat-erat. Dan di ucapkannya kata-kata yang indah berisi keharuan.
'Kami atas nama pemerintah dan seluruh pemimpin perjuangan revolusi kemerdekaan mengucapkan terima kasih kepada Saudari.
Kami sangat merasa bangga dengan adanya patriot wanita seperti Saudari,
yang selamanya menyediakan waktu untuk memberi semangat kepada prajurit kita.
Kami juga yakin, kalau Saudari tak di sini, tentu front ini sudah lama di duduki musuh.'

Begitulah. Kalau ada orang sakit, aku juga yang merawatnya.
Dan di waktu malam-malam yang damai, mereka minta hiburan.
Aku bernyanyi. Mereka memetik gitar. Dan mereka dapat melupakan segala hal-hal yang menekan.
Dan waktu itu, aku sering merasa jumlah tanganku yang masih kurang. Aku mau tanganku lebih banyak lagi.
Kalau boleh sebanyak jari ini.

Tapi sekali pernah juga aku berpikir-pikir, bahwa hidup seperti itu tidaklah akan selamanya berlangsung.
Suatu masa kelak akan berakhir juga. Dan kalau perang sudah selesai, aku ingin bersekolah lagi.
Sekolah apa? aku tak tahu. Yang aku tahu Cuma, tambah banyak ilmu, tambah banyak yang dapat diperbuat. Ya, itulah semua."

Satu demi satu ucapannya bercekauan dalam hatiku. Dan kini kumandangnya lebih menyayat terasa, lebih menusuk.
Aku jadi tak berani mengangkat kepalaku. Makin lama kian terkulai keseluruhan adaku di dekatnya.

Matahari ketika itu sangat cerahnya. Bayangan pohon manggis bertelau-telau pada rumput hijau.
Dan di kiriku dia duduk mengunjurkan kakinya. Kaki itu kaki yang dulu juga. Kaki yang pernah menggodaku.
Sekarang kaki itu terhampar begitu saja. Dan aku tak dapat memandangnya lama-lama,
karena kaki itu tidak berbicara apa-apa lagi bagiku kini. Dan perasaanku tidak seperti dulu lagi.
Justru itulah yang menyebabkan aku merasa dipilukan perasaanku sendiri. Hendak kuelus hatinya,
hendak kuceritakan sejarah hidup Helen Keller. Bahkan hendak kukatakan juga, bahwa aku mau memeliharanya.
Memelihara dia? Tidak. Dan aku sudah punya dua anak. Agus dan Hafni. Ketika aku sadar jalan itu buntu,
aku menyesali diriku sendiri. Juga menyesali segala yang sudah terjadi. Dan aku tak bisa berdoa untuknya.
Doa serasa tak berharga kini. Tiap-tiap orang punya doa. Dan doa sekadar doa, tak ada gunanya.
Maka aku merasa segalanya jadi terbang.

"Apa yang kaupikirkan?" tanyanya tiba-tiba.

Aku jadi gugup dan tersentak dari keterbanan perasaanku. Dan aku katakan, bahwa aku sedang memikirkannya.

"Masa dipikirkan lagi," katanya. "Apa perlunya? Semua sudah sewajarnya, bukan?"

"Apa?" tanyaku ragu-ragu.

"Kau memikirkan aku, kan?"

"Tidak setepat itu benar. Aku sedang memikirkan apa yang hendak kulakukan."

"Untuk apa?"

"Untukmu."

"Sia-sia saja."

Tiba-tiba kuingat pada pusat rehabilitasi di Solo. Dan lalu kukatakan kepadanya. Lama ia terdiam,
dan matanya seperti melangkaui segala apa yang dapat dilihatnya.

"Bagaimana? Setuju? Kalau kau setuju jangan kaupikir apa-apa. Aku yang uruskan semua."

Tapi dia masih tiada memberi reaksi. Dan aku mendesak lagi.

"Kalau perlu ...Ah, tidak, Aku sendiri yang akan mengantarkan kau. Barangkali tidak lama kau di sana,
kau sudah bisa pulang lagi. Dan selanjutnya kau sudah bisa berbuat sesuatu lagi, seperti dulu."

Lalu ia memandang padaku. Dan tersenyum. Tapi senyumnya ini menusuk hatiku. Aku jadi gugup.

"Mengapa kau tersenyum?" tanyaku dalam kehilangan keseimbangan diriku.

"Mungkinkah orang seperti aku ini dapat berbuat sesuatu?" tanyanya dengan suara yang lain sekali bunyinya. Begitu pahit.

Dan aku jadi ragu-ragu untuk meyakinkannya lagi. Lalu aku pura-pura tak mendengarkan apa katanya.
Aku beri dia semangat yang bernyala-nyala, yang aku sendiri pada dasarnya sudah tak percaya akan semangatku sendiri.
Dan dia tahu itu rupanya. "Kau sendiri tak yakin dengan ucapanmu. Bagaimana mungkin aku meyakinkannya?" katanya.

"Tapi sedikitnya, kau lebih bisa berbuat banyak nantinya."

"Ya. Tentu saja. Seperti juga dulu, kan? Seperti dulu, seolah-olah kalau tidak ada aku, semuanya seperti tidak akan sempurna,
semua pekerjaan seolah takkan selesai. Semua orang memerlukan tenagaku. Semua orang jatuh cinta padaku.
Semua orang haus akan segala yang ada padaku. Tapi setelah itu, setelah itu apa lagi?"

Aku tak merasa terpaan angin dari gunung itu lagi. Yang kurasakan terpaan ucapannya pada mukaku,
karena terasa sebagai umpatan yang pahit tapi dicelup dengan tengguli.

"Kau kasihan padaku, bukan?"

"Kenapa tidak?"

"Ya. Tentu saja kau kasihan padaku. Karena kau merasa berdiri di tempat yang sangat tinggi, sedang aku jauh di bawahmu.
Lalu dari tempat yang itu, kau memandang kepadaku, 'Oh, alangkah kecilnya kau, Nun, katamu'."

Aku mau membantah. Tapi sebelum aku dapat memilih kata, dia berkata lagi. "Seperti tadi saja.
Kalau bukan aku yang menyapamu, kau takkan tahu siapa aku, bukan? Sedang mata pertamamu melihat aku tadi,
kau seolah melihat pengemis yang dijijiki. Alangkah cepatnya segalanya berubah. Dan lebih cepat lagi seseorang melupakan seseorang lainnya, meski pernah orang itu dicintanya."

Aku ingin memandangnya tepat, hendak mencoba menyatakan bahwa segalanya mempunyai alasan-alasan tertentu.
Ingin aku menentang matanya, hendak meyakinkannya, seperti pernah kulakukan dulu kepadanya.

"Meski bagaimana, aku tahu kau baik," katanya lagi.

"Ni Nun, Uni Nuuun," tiba-tiba seorang gadis kecil memanggil-manggil.
Dan panggilan yang tiba-tiba itu mencairkan impitan yang memberat antara kami.

"Ke mana Uni Nun? Melalar saja. Tidak tahu dibuntung awak,
" gadis kecil berkata lagi sambil memandang padaku dengan curiga dan kebencian.
Aku jadi kaget, kalau gadis kecil semanis ini bisa bertingkah begitu terhadap Nun.
Inikah lingkungan hidup Nun, pikirku. Di mana sedari kecil anak-anak telah memandang Nun sebagai manusia tak berguna,
manusia yang sial. Kupandang wajah Nun yang berubah-ubah.
Tapi cepat-cepat disembunyikannya wajahnya itu dari pandanganku.

"Nenek memanggil. Cepatlah!" gadis itu memamer lagi.

"Tolong tegakkan aku. Aku mau ke Nenek," Nun berkata padaku dengan suara dalam lehernya.
Dan kutolong dia berdiri. Tapi waktu itu aku jadi sentimental lagi, melebihi tadi.

"Nenek sudah tua benar. Sudah lupa segalanya. Selain aku. Dan kalau aku tak di dekatnya,
Nenek merasa kehilangan nyawa," katanya pula dan lalu pergi meninggalkan aku yang tercenung.
Ketika ia mau membelok ke arah jalan raya, dia membalikkan badannya lagi ke arahku dan berkata pula.
"Nenek tak bisa berpisah denganku. Antara kami berdua ada perpaduan nasib.
Dan Nenek ingin hidup lebih lama, karena dia tak hendak membiarkan aku hidup sendirian."

Dia melangkah lagi. Tapi sebentar kemudian dia memaling lagi dan berkata, "Tapi kalau Nenek sudah tak ada lagi,
aku juga tidak memerlukan apa-apa pula."

Lalu dia melangkah. Tapi sebelum dia hilang di balik belukar yang bergoyang ria ditiup angin dari gunung itu,
kukatakan kepadanya, "Besok aku datang lagi ke sini, Nun."

Tapi dia tidak menoleh lagi. Hilang di balik belukar itu. Dan belukar itu bertambah ria menari ditiup angin dari gunung.
Angin dari gunung yang meniup belukar hingga bergoyang dan menari ria itu, angin itu juga yang meniup aku, meniup Nun,
dan meniup gadis kecil itu.

Minggu, 07 Maret 2010

Peran Berpikir Logis dalam penulisan ilmiah

Berpikir merupakan ciri utama pada manusia,yang membedakan manusia dengan binatang. Kemampuan berpikir manusia mengambil jalan melingkar dalam mencapai tujuannya. Dengan kemampuan berfikir ini manusia menghadapi dan menanggapi keadaan alam sesuai dengan akal yang dapat memikirkanya (chalenge and respons).

Metode bernalar adalah hal paling mendasar dan menjadi pondasi bangunan dalam menulis sebuah karya ilmiah. Penalaran adalah proses berfikir dalam merumuskan dan menarik suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang mempunyai kemampuan untuk melakukan penalaran, karena manusia adalah makhluk yang berfikir, merasa, bersikap dan bertindak. Bersikap dan bertindak bersumber dari kegiatan merasakan dan berfikir.

Ciri penalaran adalah berfikir logik, yaitu suatu kegiatan berfikir dengan menggunakan pola tertentu atau menurut logika tertentu. Ketidak konsistenan dalam menggunakan alur logika, dapat menyebabkan kekacauan atau kekeliruan penalaran. Dalam prakteknya, penalaran dibentuk oleh tiga pemikiran yaitu: pengertian/konsep, proposisi dan pernyataan. Tanpa tiga bentuk pemikiran tersebut, manusia tidak mungkin memperoleh penalaran yang benar.

Dalam proses pembelajaran, mahasiswa tidak hanya dituntut untuk mendeskripsikan suatu hal atau sebuah fenomena (kemampuan deskriptif). Level pembelajaran atau berfikir mahasiswa harus melebihi itu, yakni analitis, kritis, bahkan hingga solutif. Level berfikir ini harus diwujudkan dalam setiap aktivitas pembelajaran, baik dalam diskusi maupun dalam penulisan karya ilmiah. Dalam menulis, (ruang) tulisan juga dibatasi sehingga harus singkat dan padat.

Cara berfikir ilmiah yang pertama adalah logika matematika. Logika ini melambangkan serangkaian makna dari pernyataan yang disampaikan. Lambang matematika bersifat artificial yang baru berarti kalau diberi makna terhadapnya. Biasanya menggunakan bahasa numeric yang bebas emosi, tidak kabur dan tidak multi tafsir/majemuk. Mempunyai cirri yang nalar secara deduksi dan analogi, bersifat kuantitatif, daya prediktif kuat dan dapat digunakan untuk pemodelan dan kontrol. Matematika merupakan puncak kegemilangan intelektual manusia. Matematika selain sebagai cara berfikir logika, ia juga adalah bahasa, ilmu pengetahuan sendiri yang dipakai dasar oleh ilmu lain dan teknologi. Logika berfikir ilmiah yang kedua adalah logika statistika. Mewujudkan logikanya pada angka numerik, lambang, formula dan teorema. Logika statistika memunculkan teori peluang yang eksak yang dapat digunakan dalam penarikan kesimpulan yang bersifat umum dengan hanya mengamati sebagian dari populasi.




Senin, 01 Maret 2010

Top 10 Kesalahan Terbesar Seputar Desain Web

Ternyata ada tulisan dari Jacob Nielsen, sang ahli Design Usability tentang 10 kesalahan terbesar yang seharusnya tidak dilakukan dalam melakukan desain web, yaitu

1. Mesin pencarian yang buruk
Mesin pencari biasanya digunakan bila pencarian melalui navigasi gagal. Idealnya, hasil dokumen yang menduduki peringkat-peringkat teratas yang didapatkan dari mesin pencari merupakan dokumen yang paling relevan dengan user. Namun demikian, mesin-mesin pencari yang ada pada saat ini berbasis berapa banyak literal pada dokumen yang cocok dengan kalimat query. Banyaknya literal yang cocok pada suatu dokumen, belum tentu relevan bagi user. Menurut pak Jacob, sebaiknya mesin pencari menampilkan informasi “best bets”, yaitu dokumen-dokumen yang paling sering di ambil untuk query tertentu.

2. File PDF yang digunakan untuk membaca online

Adanya halaman berformat PDF yang dibaca secara online dapat memperlambat flow dalam melakukan aktifitas berselancar. Selain lambat untuk dibuka, terkadang melakukan hal-hal sederhana pun seperti menyimpan dan menge-print dokumen menjadi sulit. Hal yang paling krusial, tidak semua browser mendukung fasitilitas pembacaan PDF secara online.

3. Tidak mengubah warna text link tanda bahwa link tersebut sudah pernah dikunjungi

Mungkin hal ini telah menjadi hal yang lumrah, agar user tidak mengulangi pekerjaan membuka halaman yang sama


4. Text yang tidak scannable
Text yang tidak scannable sulit dan ’sangat menyakitkan’ untuk dibaca. Adapun tips & trik untuk merancang suatu tulisan yang scannable yaitu :
* subheads
* bulleted lists
* highlighted keywords
* short paragraphs
* the inverted pyramid
* a simple writing style, and
* de-fluffed language devoid of marketese.

5. Ukuran font yang tidak dapat beubah-ubah
Pada teknologi CSS, disediakan fasilitas untuk tidak dapat mengubah ukuran font. Misalnya, tidak mengaktifkan aksi Ctrl + Scroll untuk me-resize font. Nah, sebaiknya fasilitas itu jangan digunakan. Biarkan user bebas dalam menentukan ukuran font sesuai yang diinginkan.

6. Judul halaman yang menyebabkan halaman tersebut sulit ditemukan oleh mesin pencari (tidak visible)

Usahakan judul halaman merupakan text yang unik dan relevan, yang cukup menggambarkan isi dari situs.

7. Apapun yang tampak seperti iklan

Sebenarnya iklan dirancang dengan tujuan agar mendapat perhatian seketika dari user (selective attention). Namun pada kenyataannya, banyak user yang seringkali mengacuhkan iklan. Alih-alih user membaca isi dari halaman tersebut, kebanyakan halaman yang tampak seperti iklan langsung ditutup. Dengan demikian, hindari desain yang tampak seperti iklan atau cobalah metode selective attention yang lain.

8. Melanggar konvensi desain

Konvensi/prinsip utama dalam membuat desain web yang hampir tidak boleh dilanggar adalah konsistensi. Desain halaman web yang konsisten mempermudah user dalam mempelajarinya.

9. Membuka jendela browser baru

Terkadang user tidak menyadari bahwa halaman web yang baru diklik tersebut telah terbuka. Selain itu, bertambah jendela browser baru semakin ‘mengotori’ monitor user.

10. Tidak menjawab pertanyaan user
Kegagalan utama dari desain suatu web adalah user tidak mampu mendapatkan informasi dari web tersebut dimana informasi tersebut seharusnya ada di sana.

Contohnya, pada web komersial, informasi yang utama bagi user adalah harga produk/jasa. Kebanyakan web komersial tidak men-visible-kan informasi harga tersebut, sehingga user cenderung mencari web lain yang lebih relevan. Contoh yang lain adalah pada aktifitas download. Kebanyakan aplikasi web yang menyediakan fasilitas download, harus melewati berbagai ‘rintangan’ prosedur terlebih dahulu. Dan contoh2 lainnya.


ghifar.wordpress.com



Top 10 Kesalahan Terbesar Seputar Desain Web

Ternyata ada tulisan dari Jacob Nielsen, sang ahli Design Usability tentang 10 kesalahan terbesar yang seharusnya tidak dilakukan dalam melakukan desain web, yaitu

1. Mesin pencarian yang buruk
Mesin pencari biasanya digunakan bila pencarian melalui navigasi gagal. Idealnya, hasil dokumen yang menduduki peringkat-peringkat teratas yang didapatkan dari mesin pencari merupakan dokumen yang paling relevan dengan user. Namun demikian, mesin-mesin pencari yang ada pada saat ini berbasis berapa banyak literal pada dokumen yang cocok dengan kalimat query. Banyaknya literal yang cocok pada suatu dokumen, belum tentu relevan bagi user. Menurut pak Jacob, sebaiknya mesin pencari menampilkan informasi “best bets”, yaitu dokumen-dokumen yang paling sering di ambil untuk query tertentu.

2. File PDF yang digunakan untuk membaca online

Adanya halaman berformat PDF yang dibaca secara online dapat memperlambat flow dalam melakukan aktifitas berselancar. Selain lambat untuk dibuka, terkadang melakukan hal-hal sederhana pun seperti menyimpan dan menge-print dokumen menjadi sulit. Hal yang paling krusial, tidak semua browser mendukung fasitilitas pembacaan PDF secara online.

3. Tidak mengubah warna text link tanda bahwa link tersebut sudah pernah dikunjungi

Mungkin hal ini telah menjadi hal yang lumrah, agar user tidak mengulangi pekerjaan membuka halaman yang sama


4. Text yang tidak scannable
Text yang tidak scannable sulit dan ’sangat menyakitkan’ untuk dibaca. Adapun tips & trik untuk merancang suatu tulisan yang scannable yaitu :
* subheads
* bulleted lists
* highlighted keywords
* short paragraphs
* the inverted pyramid
* a simple writing style, and
* de-fluffed language devoid of marketese.

5. Ukuran font yang tidak dapat beubah-ubah
Pada teknologi CSS, disediakan fasilitas untuk tidak dapat mengubah ukuran font. Misalnya, tidak mengaktifkan aksi Ctrl + Scroll untuk me-resize font. Nah, sebaiknya fasilitas itu jangan digunakan. Biarkan user bebas dalam menentukan ukuran font sesuai yang diinginkan.

6. Judul halaman yang menyebabkan halaman tersebut sulit ditemukan oleh mesin pencari (tidak visible)

Usahakan judul halaman merupakan text yang unik dan relevan, yang cukup menggambarkan isi dari situs.

7. Apapun yang tampak seperti iklan

Sebenarnya iklan dirancang dengan tujuan agar mendapat perhatian seketika dari user (selective attention). Namun pada kenyataannya, banyak user yang seringkali mengacuhkan iklan. Alih-alih user membaca isi dari halaman tersebut, kebanyakan halaman yang tampak seperti iklan langsung ditutup. Dengan demikian, hindari desain yang tampak seperti iklan atau cobalah metode selective attention yang lain.

8. Melanggar konvensi desain

Konvensi/prinsip utama dalam membuat desain web yang hampir tidak boleh dilanggar adalah konsistensi. Desain halaman web yang konsisten mempermudah user dalam mempelajarinya.

9. Membuka jendela browser baru

Terkadang user tidak menyadari bahwa halaman web yang baru diklik tersebut telah terbuka. Selain itu, bertambah jendela browser baru semakin ‘mengotori’ monitor user.

10. Tidak menjawab pertanyaan user
Kegagalan utama dari desain suatu web adalah user tidak mampu mendapatkan informasi dari web tersebut dimana informasi tersebut seharusnya ada di sana.

Contohnya, pada web komersial, informasi yang utama bagi user adalah harga produk/jasa. Kebanyakan web komersial tidak men-visible-kan informasi harga tersebut, sehingga user cenderung mencari
web lain yang lebih relevan. Contoh yang lain adalah pada aktifitas download. Kebanyakan aplikasi web yang menyediakan fasilitas download, harus melewati berbagai ‘rintangan’ prosedur terlebih dahulu. Dan contoh2 lainnya.


ghifar.wordpress.com